Tulisan mengenai Hegemoni Budaya Melalui Bahasa ini merupakan pindahan dari blog pirbadi milik pendiri I’MC Center yaitu Djodjok Soepardjo, dibuat pada November 20, 2008, selanjutnya kami coba tuangkan di sini sebagai pencerahan bagi anda yang sempat mengunjungi web ini
1. Pendahuluan
Pertama-tama saya menyampaikan terimakasih kepada panitia yang telah memberikan kesempatang ikut berpartisipasi dalam seminar ini. Selanjutnya, ketika saya mencermati tema seminar ini yaitu “Hegemoni Budaya Melalui Bahasa”, saya jadi teringat beberapa sms yang saya terima.
“Alhmd br k luar rs kmrn. IA kt slg doa ya mas jo. Aq kgn rifqy. Ajak nginep rmah ya kpn2 x pas wk end”
ASsalamuaLaykum.p Susy (nama samaran pengirim SMS) bngung! Ibu ma abah masx susy skrg ndk merestui hub susy krn alas an hsl shlt astiharahx tdk baik, jd dtruskan tdk baik. Tp susy Mw puTus msh mikir2, syng dg wky 8 thn jLn dg mas. Apa, maksud Allah sprt ini y p ?!! pdhl thn lalu orang tw mas sdh welcome bgt sm susy. Mikir ini rasae nyesek..”
Kalimat di atas adalah 2 contoh sms dari 2 orang yang berbeda. Saya menerima sms tesebut beberapa hari yang lalu. Dari sini tampak jelas, ada tindakan hegemoni bahasa akibat budaya sms. Saya merasa prihatin kalau membaca bahasa yang dipaksa ditekuk-tekuk, dipites-pites untuk alat menyampaikan pikiran manusia. Implikasinya, sipenerima pesan kadang harus berpikir lama untuk memahami isi informasi yang disampaikan oleh si pengirim pesan.
Fenomena di atas, sebuah contoh kongkret yang setiap saat dapat dijumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan kita sendiri pelakunya. Akan tetapi, kita ketahui bahwa tugas bahasa adalah menyampaikan informasi dalam suatu bentuk komunikasi. Kalau komunikasi tersebut sudah saling dipahami, apakah kenyataan seperti sms di atas masih perlu dipersoalkan?
Ada tiga persoalan yang perlu dicermati ketika membaca tema yang dikemukakan oleh panitia. Pertama adalah persoalan kata hegemoni. Istilah hegemoni berasal dari kata Yunani yaitu hegeisthai (to lead atau shidouken). Kata ini banyak dipakai oleh para ahli sosiologi untuk menggambarkan suatu usaha mempertahankan kekuasaan. Artinya, bagaimana kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok berkuasa. Sebagai contoh kekuasaan pemerintahan orde baru. Ia mampu menekan seluruh aspirasi masyarakat sehingga patuh dan tunduk kepada pemerintah pada saat itu. Ketika itu, orang yang “bersuara” segera dibungkam, orang yang “berontak” dibentak, orang yang “ngamuk” dibekuk, bahkan ada yang “bergerak” akhirnya ditembak.
Tokoh hegemoni yang terkenal adalah Gramsci (1891-1937). Analisis hegemoninya merupakan usaha improvisasi terhadap konsep determinasi ekonomi dan kritik terhadap kaum kapitalis. Meskipun analisis hegemoni Gramsci berkisar pada kekuasaan ekonomi, namun konsep hegemoni dapat diperluas ke wilayah sosial dan regional seperti dicontohkan di atas.
Ke-dua, yang perlu dicermati adalah kata “budaya”. Kata ini sering disebut-sebut. Tetapi apabila ditanya maknanya tidak semua orang dapat menjawab. Tampaknya sangat sederhana, tetapi saya berharap apa yang dipaparkan di sini dapat menggugah kesadaran kita terhadap hakekat kebudayaan. Kadang kita merasa heran, ketika dihadapkan pada kenyataan, dan perasaan kita mengatakan betapa mencoloknya perbedaan antara diri kita dengan orang lain. Haruslah disadari, bahwa semua hal yang demikian pada dasarnya dipengaruhi oleh kebudayaan, bahkan itulah hakekat kebudayaan. Dikatakan bahwa kebudayaan (culture) merupakan elemen yang sulit untuk berubah dalam masyarakatnya. Disamping itu ada empat elemen lainnya yang sulit berubah yaitu ras (racial trait), kebangsaan (nationality), mental (mentality), masyarakat (sociality). Jadi, kalau ada tindakan hegemoni kebudayaan melalui bahasa, “kekuatan” bahasa tersebut sangat luar biasa. Umumnya kebudayaanlah yang mengatur bahasa sebagai alat untuk melestarikannya.
Yang ketiga adalah “bahasa”. Kita sudah tahu definisi bahasa. Bahasa sangat dinamis mengikuti perkembangan kebudayaan. Dalam kehidupan berbudaya yang pertama kali kena dampak akibat perkembangan kebudayaan adalah bahasa. Dewasa ini hampir semua orang memiliki komputer. Dengan munculnya budaya komputer, tidak sedikit dampak negative yang dapat dirasakan. Dulu kemampuan menulis kanji saya cukup baik. Tetapi sekarang anjlok ke tingkat yang jauh lebih rendah. Itu gara-gara si komputer. Dulu keindahan menulis kanji saya sangat diperhatikan karena bila mengirim surat, saya malu tulisan saya tidak terbaca. Sekarang saya tidak perdulikan dengan keindahan tulisan saya, karena saya dapat bebas memilih font di komputer. Jadi, dampak hegemoni kebudayaan terhadap bahasa sangat kuat.
Untuk lebih jauh memahami permasalahan ini, sekarang mari kita lihat bagaimana hubungan bahasa dengan kebudayaan.
2. Hubungan Bahasa dengan Kebudayaan.
Dikatakan bahwa sejarah manusia diawali bersama-sama bahasa. Selama ini banyak ahli antropologi yang mendefinisikan bahwa manusia adalah makhluk pencipta alat (homo fabel). Artinya eksistensi alat atau perkakas merupakan tanda-tanda adanya kehidupan (kebudayaan). Akan tetapi, menurut Claude Levi-Strauss seperti dikutip oleh Maruyama (1995:43), anggapan tersebut sekarang sudah lebih disempurnakan.
Dewasa ini, pembatas antara alam dengan kebudayaan bukan lagi didasarkan pada eksistensi sebuah alat, tetapi didasarkan pada bahasa. Dengan kata lain, sebelum membentuk manusia sebagai homo fabel atau homo sapiens (manusia haus ilmu) perlu dibentuk dulu manusia homo loquens (manusia berbahasa). Karena denga bahasa itulah manusia dapat memelihara seluruh kebudayaannya. Kalau pada sifat alat itu tampak adanya suatu tranformasi dari alam kepada kebuyaan, maka bahasalah alat yang paling utama yang diciptakan manusia untuk proses tersebut, dan inilah yang memungkinkan sumber konsep pembuatan seluruh alat-alat.
Bahasa adalah organ physiology yang digunakan secara instingtif dan alami. Hal ini yang membedakan inti bahasa dengan ketika kita menggunakan paru-paru unuk bernafas atau berdiri kemudian berjalan.. Burung beo di rumah saya mampu menirukan kata salam seperti “assalamu alaikum” dan menirukan kata “kamu jelek”. Tetapi Ia tidak bisa membuat kalimat bentuk lampau atau pengandaian.
Sejak kita lahir di alam fana ini sudah dikelilingi oleh bahasa, dibesarkan dengan bahasa, berpikir memakai bahasa, berkomunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa. Karena kelekatan bahasa dengan kehidupan kita, sering kali secara refleksi bahasa tidak dipikirkan. Dalam keadaan seperti ini, kadang-kadang kita dibuat jengkel karena tidak mampu memahami komunikasi dengan orang-orang yang menggunakan bahasa yang sama. Termasuk seperti contoh penulisan sms yang kadang susah untuk dipahami.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui oleh kita bagaimana hakekat bahasa dalam kehidupan manusia. Karena di dalam bahasa tercermin sifat-sifat kebudayaan dan oleh karena itulah, cermin kebudayaan suatu bangsa ada di dalam bahasa bangsa tersebut.
3. Hubungan Bahasa dengan Manusia
Perubahan yang terjadi pada manusia baik dalam aktivitas spiritual atau pun cultural didasarkan pada bahasa. Disini, untuk lebih memahami bahasa, saya akan berikan sebuah ilustrasi
Ada seorang yang baru pindah rumah, di tempat yang baru Ia melihat 4 ekor kucing. Karena beberapa orang tetangganya yang suka kucing memeri makan, Ia anggap kucing itu bukan kucing liar atau kucing peliharaan.. Orang yang baru saja pindah tadi segera memelihara kucing-kucing tersebut. Tiap-tiap ekor kucing Ia perhatikan. Bukan hanya warna bulunya atau bentuk badannya, tetapi gerak-gerik, ekspresi wajah, sampai pada perbedaan sifatnya Ia ketahui. Ia memberi nama kepada masing-masing kucing tersebut. Tidak lama kemudian, kejadian itu diketahui oleh tetangga yang tidak suka kucing. Orang tersebut menggerutu, “masa kucing saja diberi nama”. Orang yang telah menjadi majikan kucing-kucing tersebut kaget mendengar gerutuan orang tadi.. Ia merasa heran, karena baginya memberi nama kepada kucing adalah hal yang wajar. Ia baru kali ini mengetahui kalau ada orang yang merasa aneh dengan pemberian nama kepada kucing. Orang yang menggerutu tadi, akhirnya setelah membaca buku mengetahui juga kalau sapi-sapi piaraan di Amerika semuanya diberi nama. “baru tahu” pikirnya.
Bagi orang yang menggerutu, kucing yang kadang-kadang berlari-lari ke dekatnya Ia anggap tak ubahnya seperti batu-batu di jalanan. Tetapi bagi orang yang telah menjadi pemelihara kucing, perbedaan warna masing-masing, suara mengeong, lebar matanya, dan panjang kumisnya, Ia anggap itu suatu persamaan yang terdapat dalam kucing.
Dengan tidak memperdulikan perbedaan tiap-tiap kucing, dan dengan persamaan yang terdapat dalam kucing itu sendiri secara abstrak dalam alam pikiran kita dibentuk yang biasa dalam ilmu bahasa disebut “konsep”. Jadi yang disebut “kucing” dapat dikatakan simbol yang dibentuk dalam konsep. Budaya pun demikian sesuatu tindakan-tindakan yang sudah terbentuk di dalam alam pikiran manusia dan diimplementasikan dalam kehidupannya melalui konsep bahasa.
Kalau kita perhatikan, fungsi bahasa itu ada bermacam-macam. Ketika kaki kita terinjak spontan kita katakan “aduh! sakit”. Kemudian yang menginjak spontan pula mengatakan “oh, maaf”. Ini fungsi bahasa yang pertama. Dari kejadian tersebut lahirlah komunikasi antara orang di sekitarnya. Ini fungsi bahasa kedua. “Mie pangsit yang saya makan di kantin kemarin enak sekali rasanya”. Ini fungsi bahasa ke tiga. Meskipun tidak ada “mie pangsit” di depan mata, tetapi kita dapat membayangkan “mie pangsit” dengan konsep yang sudah dibentuk di dalam alam pikiran kita. Dengan pemerolehan fungsi bahasa ke tiga tadi manusi malakukan kehidupannya termasuk menyampaikan warisan kebudayaannya.
Selama tidak ada “di sini, sekarang” itu semua baru konsep dalam alam pikiran. Ini yang perlu kita perhatikan dalam kegiatan berbahasa. “burung beo di rumah saya bisa mengatakan ‘assalamu alaikum’”. Apa yang dapat dibayangkan oleh orang belum pernah melihat burang beo?. Kesadaran akan pemahaman sebuah konsep sangat penting dalam kehidupan berbahasa. Karena keberadaan manusia, keberadaan masyarakat selalu berinteraksi dengan aktivitas bahasa dan ini merupakan satu ikatan yang tidak bisa dipisahkan.
4. Hegemoni Budaya dan Bahasa
Apabila bahasa yang digunakan mampu mengubah suatu kondisi/situasi ke kondisi/situasi yang lain itu adalah misteri kekuatan bahasa. Perwujudan ini dapat dilihat dari kemampuan berkomunikasi secara objektif ketika seseorang lepas dari konteks budaya masyarakatnya.
Mayarakat yang memiliki kekuatan bahasa adalah masyarakat yang selalu menggunakan bahasa. Masyarakat yang menggunakan bahasa untuk kelangsungan hidupnya, dan percaya akan kekuatan itu. Bagi masyarakat yang demikian bahasa benar-benar difungsikan dalam segala aspek kehidupan. Mereka tahu persis bagaimana bahasa mampu mengubah kualitas kehidupannya.
Dewasa ini kita masuk pada era globalisasi. Masyarakat yang masih belum percaya dengan misteri kekuatan bahasa tidak akan mampu mengikuti perkembangan era globalisasi. Masyarakat yang hanya menggunakan bahasa untuk aspek-aspek tertentu saja tidak mungkin dapat menyerap informasi penting dalam era globalisasi. Masyarakat yang tidak mau membuka diri melalui identitas bahasanya sulit untuk berkomunikasi dengan manusi-manusia global. Fenomena ini adalah cikal bakal hegemoni terhadap bahasa.
Bahasa tidak lagi digunakan sebagai alat untuk membangun citra bangsa, atau melestarikan nilai-nilai kebudayaan bangsa. Bahasa diperkosa oleh keangkaramurkaan nafsu manusia. Bahasa itu seperti bayi yang baru lahir. Ia bersih sarat dengan nilai-nilai kesucian. Tinggal roh yang seperti apa yang akan dimasukan ke dalamnya. Kalau dimasukan roh “iblis”, keluarlah bahasa iblis. Kalau dimasukan roh “malaikat” keluarlah bahasa malaikat. Maka dari itu, perlu direnungkan betul bahwa bahasa memiliki kekuatan untuk mengubah segala aspek kehidupan penuturnya bila digunakan sesuai kodratnya. Apa kodrat bahasa? Kodrat bahasa pada hakekatnya adalah kodrat manusia itu sendiri..
Dari uraian di atas, kalau saya kemukakan intinya adalah apa bila terjadi tindakan hegenomi terhadap kebudayaan maka hal itu akan terjadi pula hegenomi terhadap bahasa, karena bahasa merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan itu sendiri. Oleh sebab itu, kesadaran akan kekuatan bahasa dapat digunakan untuk mencegah terjadinya tindakan hegemoni.
5. Penutup
Kita hidup di dalam masyarakat yang dituntut banyak bicara. Tuntutan ini tidak lepas dari kondisi mayarakat kita baik mental, spiritual, atau bahkan mungkin ini sudah menjadi budaya. Banyak berbicara saja masih tidak mengerti, apa lagi kalau tidak banyak bicara. Selain itu karakter bahasa kita memang menuntut dan cocok untuk menjelaskan. Sering kita dengar pertanyaan di akhir pembicaraan, “bagaimana! bapak-bapak dan Ibu-ibu, sudah jelas?”.Mengapa tidak bertanya “sudah mengerti?”. Mungkin kalau bertanya “sudah mengerti?” sungkan dipersepsikan “Lugu” (Lu, guoblog), karena itu banyak orang memilih pertanyaan “sudah jelas?”.
Di Jepang tidak demikian, karena tidak perlu bicara maka mereka tidak bicara. Artinya tidak bicara pun sudah mengerti. Apalagi kalau banyak bicara. Ini terkait dengan budaya dan karakter bahasa itu sendiri. Di bawah ini saya berikan contoh sebuah karakter bahasa Jepang.
“yappari, kono hon omoshirokatta”
(As, I expected, this book was interesting)
Kata “yappari” sebenarnya tidak hanya berpadanan dengan terjemahan pada contoh kalimat di atas. Tetapi dapat pula dipadankan dengan “As you said,___”, atau “As people said___”. Coba perhatikan, ungkapan di atas bagi orang Jepang cukup hanya dengan satu kata “yappari”. Mengapa orang Jepang tidak mengatakan “sesuai dengan papa yang saya harapkan” atau “seperti dikatakan orang-orang”.?. Bagi penutur bahasa Jepang tidak perlu dijelaskan, karena maksud dari bahasa itu sudah dipahami oleh lawan berbicara.
Hegemoni budaya identik dengan hegemoni bahasa. Untuk mencegah tindakan itu, dituntut adanya pengunaan bahasa sesuai dengan hakekatnya. Selain itu mental penutur bahasa sangat berperan terhadap keutuhan kebudayaan dan bahasanya.
Refferensi
-Djodjok Soepardjo. (1999) “Komunikasi dan Hubungan Personal Orang Jepang” dalam Budaya Jepang Masa Kini. Bintang.
-Nancy Bonvillain. (1993) Laguage, Culture, and Communication ~The meaning of Messeges~. Pearson Education LTD. London.
-Neubert, Albert.(1985) Translation Across Language or Across Culture? dalam Scientific and Humanistic Dimension of Language. Kurt R. ed.
-Youko Ujie (1996) Gengo Bunka Gaku no Shiten (Cultural Linguistics). Aufu.
-Susumu Yamauchi (2003) Gengo Kyouiku Gaku Nyuumon, Oyougengo Gaku o Gengo Kyouiku ni Ikasu Taishuukan shouten
-Strinati, Dominic (1995), An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London.